Jumat, 07 Agustus 2009

Rendra membaca jaman

Syahdan, usaha manusia di dalam masyarakat akhirnya akan tertumbuk pada “mesin budaya”. Adapun “mesin budaya” itu adalah aturan-aturan yang bersifat mengikat dan menimbulkan akibat. Etika umum, aturan politik,aturan ekonomi dan aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang tidak bisa dilanggar tanpa ada akibat. Semua usaha manusia pada akhirnya akan berurusan dengan aturan-aturan itu,atau “mesin budaya” itu.


“Mesin budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan dan menghargai masa depan adalah “mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggauta masyarakat dalam negara.

Tetapi “mesin budaya” yang berdaulat penguasa , yang menindas dan menjajah sangat berbahaya untuk daya hidup dan daya cipta bangsa.

Dewasa ini etika sebagai mesin budaya sangat lemah daya kerjanya . Penjahat-penjahat ekonomi dijaman Orde Baru lolos kabur keluar negeri dengan segenap harta rampokannya . Adapula yang hidup aman-aman didalam negeri dengan harta najisnya , dimuliakan orang dan tak terjamah oleh undang-undang yang tak adil . Bahkan pengacara-pengacara banyak yang menjadi kaya raya karena membela para perampok harta bangsa.

Jaksa-jaksa dan hakim-hakim pun bisa disuap dan akhirnya menjadi pelindung kejahatan.
Agama tinggal menjadi lencana. Kekerasan pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan menjadi halal . Bahkan dianjurkan dan dibanggakan.
Pendeknya seorang yang perkasa karena senjata , karena harta , atau karena punya massa bisa melangar etika dengan aman dan sejahtera.

GO..GO..GO..ALLEZ..ALLEZ..ALLEZ
Bakso..Bakso..Bakso..Onde..Onde..Onde
Mikul duwur mendem jero itu ape artinye
Artinye: kalo ente jadi presiden berdosa boleh aje.

Undang-undang dan aturan ketatanegaraan kita dewasa ini,yang meneruskan semangat undang-undang dan ketatanegaraan penjajah Hindia Belanda tempo dulu,yang sama-sama menterapkan keunggulan daulat pemerintah diatas daulat rakyat , yang sama-sama menggunakan “hatzaai-artikelen” untuk melecehkan ungkapan perasaan rakyat demi keunggulan wibawa ndoro penguasa , yang juga sama-sama menterapkan aturan politik ketatanegaraan yang memusat, yang sama-sama pula memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan dan tidak kepada etika , dengan sendirinya tidak akan berdaya mencegah krisis etika bangsa , bahkan malah mendorong para penguasa dan para perkasa untuk mengumbar nafsu jahat mereka , tanpa ada kontrol yang memadai.

Tentu saja ada Pancasila , sumber etika bangsa yang cukup lebar cakupnya. Tetapi ternyata Pancasila hanyalah bendera upacara yang tak boleh dikritik , tapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya .

Kemanusiaan yang adil dan beradab , satu sila yang indah dari Pancasila, tenyata tak punya kekuatan undang-undang bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa.

Lihatlah kasus pembunuhan terhadap empat petani di Sampang , Madura . Pembunuhan Marsinah , Udin , para mahasiswa Trisakti dan peristiwa-peristiwa pembunuhan lainnya lagi.

Majikan Marsinah yang punya pabrik jam palsu dan tidak memberlakukan peraturan menteri dalam soal gaji buruh , bebas dari tuntutan apapun.

Sedangkan Marsinah yang memprotes agar peraturan menteri diterapkan di pabriknya justru malah dianiaya dan dibunuh , tanpa urusan pengadilan yang memadai.

Para buruh di Cengkareng yang mogok dan berjuang untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya dianiaya dan diburu-buru oleh petugas keamanan. Biarpun kasusnya dimenangkan oleh pengadilan tetapi keputusan pengadilan tak pernah digubris dan dilaksanakan oleh majikan pabrik. Malahan alih-alih para aktivis buruh diteror oleh para petugas keamanan dan para preman yang dibayar oleh majikan.

Rakyat juga tak pernah menang dalam perjuangan mereka melindungi diri dari polusi yang ditimbulkan dari limbah pabrik. Petugas keamanan selalu memihak pada kepentingan majikan pabrik.

Benar-benar Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab , keadilan sosial dan kedaulatan rakyat tak ada hukumnya didalam undang-undang pelaksanaan.

Hal ini menjadi demikian karena KUHP yang berlaku di masyarakat kita adalah warisan dari penjajah Hindia Belanda yang tak punya dasar etika dalam perundang-undangannya!

Sungguh ironis didalam negara yang merdeka, karena meremehkan kedaulatan manusia dan kedaulatan rakyat,hukum dan undang-undang justru menjadi sebab merosotannya kehidupan etika bangsa.

Tatanan hidup yang kacau ini menimbulkan “Zaman edan” ,menurut penyair Ronggowarsito ialah zaman yang tidak memberdayakan akal sehat. Seterusnya “Zaman Edan” akan menimbulkan zaman yang menurut Ronggowarsito disebut “Zaman Kolobendu” , ialah zaman yang kacau nilai, zaman kejahatan menang, penjahat dipuja , orang beragama menjadi algojo, kitab suci dikhianati justru oleh ulama, kekuasaan dan kekayaan diperdewa.

Inilah zaman dimana kita semua , sekarang ini berada

Ur! Ur! Badaur!

Kotak korek api
maju mundur maju mundur
Uang suap pegang kendali

Ur! Ur! Badaur!
Kalung jali-jali
Hidup rakyat hancur lebur
Wakil rakyat malahan naik gaji

Si tukang riba disebut lintah darat
Si hidung belang disebut buaya darat
Pedagang banyak hutang itulah konglomerat
Mereka yang berhutang , yang bayar , lha koq rakyat!

Kolobendu! Kolobendu! inilah keadaan yang seharusnya tidak terjadi di negara yang merdeka. Ternyata nilai-nilai luhur dan sifat adiluhung dalam kebudayaan bangsa itu omong kosong belaka!

Akibat dari undang-undang yang tidak adil dan ketatanegaraan yang sableng, bangsa kita terperosok dalam alam Kolobendu.

Tetapi rupanya bangsa kita sering mengalami Kolobendu Buktinya di abad ke:19 Ronggowarsito sudah bersyair masa itu. Selanjutnya saya jadi teringat : dipermulaan abad ke:11 pemerintahan Dharmawangsa juga mengalami Kolobendu. Untung beliau cukup sadar akan batas kemampuannya,lalu mengundurkan diri dan menunjuk cucunya, Airlangga untuk menggantikannya.

Dalam usia tujuh belas tahun Airlangga segera berusaha memulihkan Kolobendu menjadi Kolosubo, atau zaman aman dan sejahtera. Adapun caranya dengan merubah tatanan undang-undang dalam tatanan ketatanegaraan . Tatanan yang memusat kemudian dicairkan.

Ia mengumumkan agar setiap desa adat memulihkan tatanan hukum adatnya , yang berbeda-beda disetiap desanya. Semua tergantung dari cara mereka menghasilkan barang-barang kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari dan dipasarkan.

Kemudian ia menganjurkan agar setiap desa adat membentuk empat puluh prajurit penjaga adat, yang dipilih berdasarkan mutu kehidupan pribadi mereka , dan diangkat turun temurun. Dan ternyata kalau seorang prajurit tak punya anak yang kehidupannya bermutu baik , maka ia boleh digantikan (kalau sudah wafat) oleh kemenakkannya atau cucunya yang baik mutu kehidupannya .

Maka Airlangga menghadiahkan kepada setiap prajurit adat, disetiap desa-desa adat , sebuah keris , sebuah mata tombak , dan sehelai angkin emas.

Dengan begitu sang raja yang masih remaja itu telah menciptakan ekonomi yang luas untuk setiap desa adat dan telah melahirkan hukum dan undang-undang yang adil serta terkawal. Dan terciptalah zaman emas dalam pemerintahannya dengan dasar etika yang kuat yang didukung oleh undang-undang yang nyata berlaku. Dan undang-undang yang berlaku itu diberikan pula pengawalnya.

Menarik sekali daya cipta remaja yang berumur tujuh belas tahun itu yang telah menciptakan bagi rakyatnya tatanan undang-undang yang adil , mandiri dan terkawal.

Alangkah bedanya dengan negara kita saat ini yang tatanan hukum dan undang-undang belum memuaskan keadilannya , belum memuaskan kemandiriannya dan lagi tidak terkawal. Lembaga kepolisian yang seharusnya menjadi pengawal hukum dan undang-undang malah menjadi pengawal pemerintah! Dan lembaganya dibawah ketiak presiden! itulah sebabnya saya menyebut bahwa ketatanegaraan kita ini sableng!

Ketatanegaraan Airlangga yang tidak memusat itu ternyata malah menimbulkan kejayaan hidup bersama yang penuh daya cipta yang akhirnya memang makmur pula. Berbeda dengan ketatanegaraan kita yang terlalu memusat , sehingga akhirnya malah menimbulkan ketegangan hubungan antara pusat dengan daerah , yang bisa menjurus kearah perpecahan .

Desa-desa adat yang ada di Bali bisa terus menjaga keseimbangan hidup rakyatnya sampai saat ini . Jadi berlangsung selama 995 tahun!

Sayang pada akhirnya Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua kerajaan untuk dipimpin kedua puteranya. Hal ini menyebabkan ketegangan hidup yang terus menerus sehingga akhirnya desa-desa adat di Jawa bubar karena kehilangan kedaulatannya .

Di Sulawesi Selatan keadaan Kolobendu juga pernah terjadi di akhir abad:15 . Disaat itu muncullah seorang pemuda dari kalangan rakyat yang sangat cerdas yang bernama Kajao Laliddo. Kecerdasannya menarik para sesepuh kerajaan Bone sehingga akhirnya ia memperoleh kedudukan yang cukup tinggi .

Dalam kedudukannya itu ia menawarkan ketatanegaraan yang menjamin tetap berlangsungnya perbedaan-perbedaan kepentingan didalam masyarakat , yang eksis secara berdampingan dibawah tatanan yang ber-sendi kan etika , hukum dan undang-undang yang dikawal oleh tujuh dewan adat yang dinamakan “Ade Pitue”.

Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan kepentingan diselesaikan dengan “bicara” , yang berarti pengadilan. Hierarki dalam tatanan ketatanegaraan adalah :

Yang tertingi : “Ade” (hukum) lalu “Puang” (kesatria) yang menjadi “Pangagedereng” (pelaksana pemerintahan) , kemudian rakyat yang berdaulat .

Ternyata jalan keluar Kajao Laliddo itu sukses. Bisa membawa keamanan dan daya hidup yang penuh dinamika kemajuan bagi rakyat karena daya insyatif mereka terjaga.

Seorang Wajo yang hidup sukses di rantau , menjelaskan kiat suksesnya dengan ucapan : “Merdeka orang Wajo hanya hukum adat yang dipertuan”. Tatanan hidup itu bisa bertahan sampai 505 tahun. Pada tahun 1905 hancur diobrak abrik oleh Belanda yang datang dengan keunggulan teknologi : kapal uap , senapan mesin ,dan senapan yang bisa dikokang . Tetapi sebelum itu wilayah mereka tak bisa dijamah oleh Portugis , Spanyol, Inggris ataupun VOC.

Di zaman modern ini ketika Kolobendu menimpa Thailand di akhir abad yang baru saja berlalu. Mereka segera memperbaiki konstitusi sehingga menjadi konstitusi yang baru. Dan ternyata sekarang, kemelut itu sudah mereka lampaui. Adapun konstitusi baru itu melibatkan pertisipasi rakyat dalam penciptaannya .

Demikian pula dengan Korea Selatan yang juga ditimpa Kolobendu di akhir abad yang baru lalu . Dengan merubah konstitusi merekapun bisa keluar dari kemelut .

Ternyata hukum , perundang-undangan dan ketatanegaraan yang menghargai daulat manusia , daulat rakyat , daulat akal sehat , dan daulat etika akan menjadi “Mesin Budaya” yang mampu merangsang dan mengakomodasi daya cipta dan daya hidup bangsa , sehingga daya tahan dan daya juang bangsa menjadi tinggi .

Sayang elite politik kita masih belum bisa bebas dari mentalitas ndoro-ndoro penguasa Hindia Belanda yang sangat kuat dalam mempengaruhi diri mereka . Dianggapnya UUD’45 yang penuh pengaruh ketatanegaraan Hindia Belanda itu justru dianggap sakral dan sempurna . Bung Karno sendiri pernah berpesan bahwa UUD’45 itu tidak sempurna , tapi bisa menjadi berlaku untuk sementara saja.

Apakah kaum kolot tidak menyadari bahwa UUD’45 itu mengandung kesenjangan antara Ius (Pancasila) dan Legae (KUHP) ? . Sehingga seperti yang telah saya lukiskan diatas bahwa Pancasila hanya menjadi bendera upacara belaka . Sehingga daulat manusia , daulat rakyat dan keadilan sosial tidak pernah menjelma dalam kenyataan kehidupan .

Lain dari itu cara UUD’45 merumuskan wilayah negara , sebagaimana tercantum dalam pasal 25a adalah : “Negara kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang”

Tidak ada perkataan “maritim” didalam rumusan itu. Nama negarapun hanya disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia . Padahal 60% dari negara kita terdiri dari lautan . Tetapi seperti berkepala batu para elite politik kita tidak mau merubah nama negara kita menjadi Negara Kesatuan Maritim Republik Indonesia .

Negara kita adalah negara satu-satunya yang memiliki laut di dunia . Negara-negara lain hanya mempunyai pantai . Tetapi negara kita mempunyai laut : Laut Natuna , Laut Jawa,Laut Sulawesi,Laut Flores,LautBanda,Laut Aru,Laut Maluku,Laut Seram,Laut Halmahera,Laut Timor dan Laut Sawu. Tetapi ketatanegaraan kita tetap saja ketatanegaraan negara daratan . Inikah mental petani?

PBB dan Unclos sudah mengakui kita sebagai negara maritim . Tahun 1982 kita sudah menandatangani komitmen tata kelautan dengan Unclos . Tetapi sampai saat ini kita belum menyesuaikan tata kelautan dalam standar Internasional kedalam tata hukum dan tata ketatanegaraan kita.

Sampai saat ini kita belum membentuk “Sea and Coast Guard” . Padahal ini adalah persyaratan Internasional agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan laut kita. Secara Internasional kita tidak boleh mengamankan laut kita dengan polisi atau angkatan laut . Apa sih sulitnya membentuk “Sea and Coast Guard” ? Apakah ini menyinggung kepentingan rejeki satu golongan? Tetapi kalau ada jiwa patriotik yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, bukankah tak kurang akal untuk mencari “win-win solution”?

Dalam soal perbatasan dilaut kita telah melengahkan pemetaan,pendirian mercusuar dan mengumumkan claim yang jelas dan rational mengenai batas-batas wilayah negara kita , terutama yang menyangkut wilayah laut.

Sudah saatnya pula lembaga intelejen kita mempunyai direktorat maritim. Sudah saatnya wawasan ketatanegaraan kita di segenap bidang , mencakup pengertian “Tanah Air” dan tidak sekedar “Tanah” saja.

Pelabuhan-pelabuhanpun harus segera ditata sebagai negara pelabuhan yang dipimpin oleh syahbandar yang berijazah internasional . Sedangkan pelaksanaan pengelolaannya boleh dilakukan oleh perusahaan yang di syahkan oleh syahbandar. Kemudian harus segera dicatatkan di PBB dan Unclos .

Tanpa itu , maka negara kita sampai saat ini tidak diakui punya pelabuhan , melainkan hanya diakui punya terminal-terminal belaka.

Sampai sekarang kegiatan Departemen Kelautan hanya mengurusi hasil kelautan saja, tetapi lengah dalam mengurusi Kedaulatan negara kita dilaut.

Perlu dicatat bahwa pembentukan Negara Nusantara itu untuk pertama kalinya di claim oleh Baron van der Capellen pada tahun 1821 dengan nama Hindia Belanda dan sifat kedaulatannya adalah negara maritim . Jadi van der Capellen tidak mengandalkan kepada kekuatan serdadu untuk mempersatukan nusantara , melainkan alat politik untuk persatuan itu adalah hukum dan ketatanegaraan maritim!

Kemudian ketika harus berantisipasi menghadapi pecahnya perang dunia kedua , pemerintah Hindia Belanda tidak lengah , segera pula tahun 1939 menerbitkan Ordonansi tentang Batas Wilayah Maritim Pemerintah Hindia Belanda.

Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan Menteri Luar Negeri Muchtar Kusumaatmaja yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia internasional sehingga diakui oleh PBB dan Unclos . Tetapi kita harus tanpa lengah sekejap-pun meneruskan perjuangan itu sehingga ada implementasi pengakuan dunia internasional menjadi sebuah kedaulatan yang nyata.

Tetapi sayang hal-hal semacam ini , soal “sea and coast guard” dan segala macamnya lagi yang saya sebut diatas , tidak muncul dalam “Rencana Undang-Undang Pembangunan Jangka Panjang Nasional” yang kini lagi menjadi pe-er nya para anggauta DPR yang baru saja dinaikkan gajinya itu.

Perlu disayangkan pula bahwa usaha untuk mendirikan Universitas Maritim yang bisa memberikan ijazah internasional untuk syahbandar dan nakhoda belum juga mendapatkan izin dari Departemen Pendidikan Nasional .

Saya menganggap sikap pemerintah seperti itu adalah sikap yang tidak patriotik dan tidak peka pada urgensi untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara di lautan.

Ketatanegaraan kita yang sableng juga menyebabkan pemerintah kita dari sejak Orde Lama , Orde Baru dan Orde Reformasi melengahkan pembangunan perdagangan dalam negeri yang berlandaskan usaha kecil menengah .

Bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak mengindahkan kemajuan perdagangan dalam negeri , tidak pula mengembangkan kemampuan yang dahsyat dari usaha kecil menengah , itu bisa dimengerti karena mereka memang punya agenda penjajahan .

Oleh karena itu pula pemerintah Hindia Belanda menciptakan industrialisasi dengan landasan modal asing . Sedangkan bahan baku dan mesin alat berproduksi diimport . Yang semuanya itu dijamin oleh Ordonansi Pajak tahun 1925 , dibebaskan dari pajak . Bahkan diberlakukan pula peraturan devisa terbuka, agar keuntungan-keuntungan dan semua hasil jarahan ekonomi bisa dilarikan keluar negeri.

Anehnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 dan disegarkan pada tahun 1970 memuat hal yang sama dengan Ordonansi Pajak 1925 . Yang semuanya itu merupakan kembang gula bagi modal asing!

Lebih jauh lagi Orde Baru lebih percaya pada kemampuan berhutang pada lembaga Donor Asing daripada membangun kekuatan modal dalam negeri . Sudah jelas merupakan kesalahan besar membangun ekonomi makro tanpa membangun ekonomi mikro .

Teori “tricle-down effect” itu tipu daya belaka . Nyatanya alam menjadi rusak . Hutang ber-milyard-milyard dollar yang semua harus ditanggung oleh rakyat.

Para elite politik lupa bahwa sejak abad 18 perdagangan antar pulau dan antar desa sudah berkembang dengan jayanya di nusantara . Bahkan perdagangan itulah yang menjadi tali persatuan Nusantara , bukan serdadu atau pemusatan kekuasaan . Perdagangan itu yang mendorong rasa berbangsa dan menjelmakan bahasa persatuan dengan huruf yang sama dan kalender sama. Bahkan mampu mendorong tatanan hidup bermasyarakat yang multykultur di kota-kota pelabuhan dan kota-kota besar di pedalaman .

Tentu saja para penjajah tidak alpa menindas kehidupan perdagangan antar daerah , antar suku,antar desa demi kepentingan hak monopoli perdagangan mereka.

Tetapi setelah kita merdeka , seharusnya kita tidak terlambat untuk memulihkan daulat perdagangan rakyat antar daerah , antar pulau dan antar desa . Bukannya mengejar pembangunan khayalan yang bertumpu pada modal asing dan ekonomi makro semata.

Modal asing yang masukpun tidak pernah mau menjamah pembangunan infrastruktur ekonomi untuk perdagangan antar daerah dan antar desa . Modal asing rata-rata hanya menggarap potensi bangsa kita sebagai pasar.

Apakah kesalahan pembangunan Orde Baru ini akan diterus-teruskan lagi oleh Orde Reformasi tanpa ada jeranya?

Menurut data terakhir dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah , jumlah usaha kecil menengah sekarang sudah mendekati 45 juta dan menampung tenaga kerja hampir 85 juta orang . Kontribusi mereka pada GNP 62% yang sama dengan 1200 trilyun rupiah. Apakah ini bukan kemampuan nyata yang harus diperhatikan di dalam program pembangunan.

Akibat dari agenda pembangunan pemerintah yang penuh khayalan tapi kurang berdasar pada kenyataan itu , negara kita semakin terlilit hutang dan kepentingan rakyat semakin jauh ditinggalkan.

Kesalahan visi pembangunan Orde Baru yang dasar adalah: merancangkan masa depan dalam jangka panjang namun tanpa pengetahuan akan portofolio masa lalu yang rasional dan tanpa pengetahuan portofolio masa kini yang rasional pula.

Rupa-rupanya hal ini akan diulang lagi oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyusun “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional”
Memang ada makhluk yang suka membenturkan kepalanya ke tembok dua kali…Bah!

~

Aduh..aduh.., cantiknya si Janda Kembang

Sedap menyanyi “Si Jali-Jali

Hujan emas di rantau orang

Hujan babu di negeri sendiri

~

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh.

WS.Rendra